Sejarah Singkat
Dalam konteks global, istilah CSR mulai digunakan sejak tahun 1970an dan
semakin populer terutama setelah kehadiran buku Cannibals With Forks: The
Triple Bottom Line in 21st Century Business (1998), karya John Elkington.
Mengembangkan tiga komponen penting sustainable development, yakni economic
growth, environmental protection, dan social equity, yang digagas the World Commission
on Environment and Development (WCED) dalam Brundtland Report (1987), Elkington
mengemas CSR ke dalam tiga fokus: 3P, singkatan dari profit, planet dan people.
Perusahaan yang baik tidak hanya memburu keuntungan ekonomi belaka (profit).
Melainkan pula memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (planet) dan
kesejahteraan masyarakat (people).
Di Indonesia, istilah CSR semakin populer digunakan sejak tahun 1990-an.
Beberapa perusahaan sebenarnya telah lama melakukan CSA (Corporate Social Activity)
atau “aktivitas sosial perusahaan”. Walaupun tidak menamainya sebagai CSR,
secara faktual aksinya mendekati konsep CSR yang merepresentasikan bentuk
“peran serta” dan “kepedulian” perusahaan terhadap aspek sosial dan lingkungan.
Melalui konsep investasi sosial perusahaan “seat belt”, sejak tahun 2003
Departemen Sosial tercatat sebagai lembaga pemerintah yang aktif dalam
mengembangkan konsep CSR dan melakukan advokasi kepada berbagai perusahaan
nasional.
Kepedulian sosial perusahaan terutama didasari alasan bahwasanya kegiatan
perusahaan membawa dampak – for better or worse, bagi kondisi lingkungan dan
sosial-ekonomi masyarakat, khususnya di sekitar perusahaan beroperasi. Selain
itu, pemilik perusahaan sejatinya bukan hanya shareholders atau para pemegang
saham. Melainkan pula stakeholders, yakni pihak-pihak yang berkepentingan
terhadap eksistensi perusahaan.
Stakeholders dapat mencakup karyawan dan keluarganya, pelanggan, pemasok,
masyarakat sekitar perusahaan, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, media massa
dan pemerintah selaku regulator. Jenis dan prioritas stakeholders relatif
berbeda antara satu perusahaan dengan lainnya, tergantung pada core bisnis
perusahaan yang bersangkutan (Supomo, 2004). Sebagai contoh, PT Aneka Tambang,
Tbk. dan Rio Tinto menempatkan masyarakat dan lingkungan sekitar sebagai
stakeholders dalam skala prioritasnya. Sementara itu, stakeholders dalam skala
prioritas bagi produk konsumen seperti Unilever atau Procter & Gamble
adalah para customer-nya.
Model dan Cakupan CSR
CSR bisa dilaksanakan secara langsung oleh perusahaan di bawah divisi human
resource development atau public relations. CSR bisa pula dilakukan oleh
yayasan yang dibentuk terpisah dari organisasi induk perusahaan namun tetap
harus bertanggung jawab ke CEO atau ke dewan direksi.
Sebagian besar perusahaan di Indonesia menjalankan CSR melalui kerjasama dengan
mitra lain, seperti LSM, perguruan tinggi atau lembaga konsultan. Beberapa
perusahaan ada pula yang bergabung dalam sebuah konsorsium untuk secara
bersama-sama menjalankan CSR. Beberapa perusahaan bahkan ada yang menjalankan
kegiatan serupa CSR, meskipun tim dan programnya tidak secara jelas berbendera
CSR (Suharto, 2007a).
Pada awal perkembangannya, bentuk CSR yang paling umum adalah pemberian bantuan
terhadap organisasi-organisasi lokal dan masyarakat miskin di negara-negara
berkembang. Pendekatan CSR yang berdasarkan motivasi karitatif dan kemanusiaan
ini pada umumnya dilakukan secara ad-hoc, partial, dan tidak melembaga. CSR
pada tataran ini hanya sekadar do good dan to look good, berbuat baik agar
terlihat baik. Perusahaan yang melakukannya termasuk dalam kategori ”perusahaan
impresif”, yang lebih mementingkan ”tebar pesona” (promosi) ketimbang ”tebar
karya” (pemberdayaan) (Suharto, 2008).
Dewasa ini semakin banyak perusahaan yang kurang menyukai pendekatan karitatif
semacam itu, karena tidak mampu meningkatkan keberdayaan atau kapasitas
masyarakat lokal. Pendekatan community development kemudian semakin banyak
diterapkan karena lebih mendekati konsep empowerment dan sustainable
development. Prinsip-prinsip good corporate governance, seperti fairness,
transparency, accountability, dan responsibility kemudian menjadi pijakan untuk
mengukur keberhasilan program CSR. Sebagai contoh, Shell Foundation di Flower Valley,
Afrika Selatan, membangun Early Learning Centre untuk membantu mendidik
anak-anak dan mengembangkan keterampilan-keterampilan baru bagi orang dewasa di
komunitas itu. Di Indonesia, perusahaan-perusahaan seperti Freeport, Rio Tinto,
Inco, Riau Pulp, Kaltim Prima Coal, Pertamina serta perusahaan BUMN lainnya
telah cukup lama terlibat dalam menjalankan CSR.
Kegiatan CSR yang dilakukan saat ini juga sudah mulai beragam, disesuaikan
dengan kebutuhan masyarakat setempat berdasarkan needs assessment. Mulai dari
pembangunan fasilitas pendidikan dan kesehatan, pemberian pinjaman modal bagi
UKM, social forestry, penakaran kupu-kupu, pemberian beasiswa, penyuluhan
HIV/AIDS, penguatan kearifan lokal, pengembangan skema perlindungan sosial
berbasis masyarakat dan seterusnya. CSR pada tataran ini tidak sekadar do good
dan to look good, melainkan pula to make good, menciptakan kebaikan atau
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Undang – Undang CSR
Di Tanah Air, debut CSR semakin menguat terutama setelah dinyatakan dengan
tegas dalam UU PT No.40 Tahun 2007 yang belum lama ini disahkan DPR. Disebutkan
bahwa PT yang menjalankan usaha di bidang dan/atau bersangkutan dengan sumber
daya alam wajib menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan (Pasal 74 ayat
1).
UU PT tidak menyebutkan secara rinci berapa besaran biaya yang harus
dikeluarkan perusahaan untuk CSR serta sanksi bagi yang melanggar. Pada ayat 2,
3 dan 4 hanya disebutkan bahwa CSR ”dianggarkan dan diperhitungkan sebagai
biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan
dan kewajaran”. PT yang tidak melakukan CSR dikenakan sanksi sesuai dengan
peraturan dan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai CSR ini baru
akan diatur oleh Peraturan Pemerintah, yang hingga kini – sepengetahuan
penulis, belum dikeluarkan.
Peraturan lain yang menyentuh CSR adalah UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal. Pasal 15 (b) menyatakan bahwa ”Setiap penanam modal berkewajiban
melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.” Meskipun UU ini telah mengatur
sanksi-sanksi secara terperinci terhadap badan usaha atau usaha perseorangan
yang mengabaikan CSR (Pasal 34), UU ini baru mampu menjangkau investor asing
dan belum mengatur secara tegas perihal CSR bagi perusahaan nasional.
Jika dicermati, peraturan tentang CSR yang relatif lebih terperinci adalah UU
No.19 Tahun 2003 tentang BUMN. UU ini kemudiaan dijabarkan lebih jauh oleh
Peraturan Menteri Negara BUMN No.4 Tahun 2007 yang mengatur mulai dari besaran
dana hingga tatacara pelaksanaan CSR. Seperti kita ketahui, CSR milik BUMN
adalah Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL).
Dalam UU BUMN dinyatakan bahwa selain mencari keuntungan, peran BUMN adalah
juga memberikan bimbingan bantuan secara aktif kepada pengusaha golongan lemah,
koperasi dan masyarakat. Selanjutnya, Permen Negara BUMN menjelaskan bahwa
sumber dana PKBL berasal dari penyisihan laba bersih perusahaan sebesar 2
persen yang dapat digunakan untuk Program Kemitraan ataupun Bina Lingkungan.
Peraturan ini juga menegaskan bahwa pihak-pihak yang berhak mendapat pinjaman
adalah pengusaha beraset bersih maksimal Rp 200 juta atau beromset paling
banyak Rp 1 miliar per tahun (lihat Majalah Bisnis dan CSR, 2007)
Namun, UU ini pun masih menyisakan pertanyaan. Selain hanya mengatur BUMN,
program kemitraan perlu dikritisi sebelum disebut sebagai kegiatan CSR. Menurut
Sribugo Suratmo (2008), kegiatan kemitraan mirip dengan sebuah aktivitas sosial
dari perusahaan, namun di sini masih ada bau bisnisnya. Masing-masing pihak
harus memperoleh keuntungan.
Pertanyaannya: apakah kerjasama antara pengusaha besar dan pengusaha kecil yang
menguntungkan secara ekonomi kedua belah pihak, dan apalagi hanya menguntungkan
pihak pengusaha kuat (cenderung eksploitatif) bisa dikategorikan sebagai CSR?
Meskipun CSR telah diatur oleh UU, debat mengenai ”kewajiban” CSR masih
bergaung. Bagi kelompok yang tidak setuju, UU CSR dipandang dapat mengganggu
iklim investasi. Program CSR adalah biaya perusahaan. Di tengah negara yang
masih diselimuti budaya KKN, CSR akan menjadi beban perusahaan tambahan
disamping biaya-biaya siluman yang selama ini sudah memberatkan operasi bisnis.
Ada pula yang menyoal definisi dan singkatan CSR, terutama terkait hurup ”R”
(Responsibility). Dalam Bahasa Inggris, “responsibility” berasal dari kata ”response”
(tindakan untuk merespon suatu masalah atau isu) dan ”ability” (kemampuan).
Maknanya, responsibility merupakan tindakan yang bersifat sukarela, karena
respon yang dilakukan disesuaikan dengan ability yang bersangkutan. Menurut
pandangan ini, kalau CSR bersifat wajib, maka singkatannya harus diubah menjadi
CSO (Corporate Social Obligation).
Selain itu, kalangan yang kontra UU CSR berpendapat bahwa core business
perusahaan adalah mencari keuntungan. Oleh karena itu, ketika perusahaan
diwajibkan memerhatikan urusan lingkungan dan sosial, ini sama artinya dengan
mendesak Greenpeace dan Save The Children untuk berubah menjadi korporasi yang
mencari keuntungan ekonomi.
Kelompok yang setuju dengan UU CSR umumnya berargumen bahwa CSR memberi manfaat
positif terhadap perusahaan, terutama dalam jangka panjang. Selain menegaskan
brand differentiation perusahaan, CSR juga berfungsi sebagai sarana untuk
memperoleh license to operate, baik dari pemerintah maupun masyarakat. CSR juga
bisa berfungsi sebagai strategi risk management perusahaan (Suharto, 2008).
Meskipun telah membayar pajak kepada pemerintah, perusahaan tidak boleh lepas
tangan terhadap permasalahan lingkungan dan sosial di sekitar perusahaan. Di
Indonesia yang masih menerapkan residual welfare state, manfaat pajak
seringkali tidak dirasakan secara langsung oleh masyarakat kelas bawah, orang
miskin dan komunitas adat terpencil. Oleh karena itu, bagi kalangan yang setuju
UU CSR, CSR merupakan instrumen cash transfer dan sumplemen sistem
”negara kesejahteraan residual” yang cenderung gagal mensejahterakan masyarakat
karena kebijakan dan program sosial negara bersifat fragmented dan tidak
melembaga.
Definisi CSR
Definisi CSR sangat menentukan pendekatan audit program CSR. Sayangnya, belum
ada definisi CSR yang secara universal diterima oleh berbagai lembaga. Beberapa
definisi CSR di bawah ini menunjukkan keragaman pengertian CSR menurut berbagai
organisasi (lihat Majalah Bisnis dan CSR, 2007; Wikipedia, 2008; Sukada dan
Jalal, 2008).
* World Business Council for Sustainable Development: Komitmen berkesinambungan
dari kalangan bisnis untuk berperilaku etis dan memberi kontribusi bagi
pembangunan ekonomi, seraya meningkatkan kualitas kehidupan karyawan dan
keluarganya, serta komunitas lokal dan masyarakat luas pada umumnya.
* International Finance Corporation: Komitmen dunia bisnis untuk memberi
kontribusi terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan melalui kerjasama dengan
karyawan, keluarga mereka, komunitas lokal dan masyarakat luas untuk
meningkatkan kehidupan mereka melalui cara-cara yang baik bagi bisnis maupun
pembangunan.
* Institute of Chartered Accountants, England and Wales: Jaminan bahwa
organisasi-organisasi pengelola bisnis mampu memberi dampak positif bagi
masyarakat dan lingkungan, seraya memaksimalkan nilai bagi para pemegang saham
(shareholders) mereka.
* Canadian Government: Kegiatan usaha yang mengintegrasikan ekonomi, lingkungan
dan sosial ke dalam nilai, budaya, pengambilan keputusan, strategi, dan operasi
perusahaan yang dilakukan secara transparan dan bertanggung jawab untuk
menciptakan masyarakat yang sehat dan berkembang.
* European Commission: Sebuah konsep dengan mana perusahaan mengintegrasikan
perhatian terhadap sosial dan lingkungan dalam operasi bisnis mereka dan dalam
interaksinya dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) berdasarkan
prinsip kesukarelaan.
* CSR Asia: Komitmen perusahaan untuk beroperasi secara berkelanjutan
berdasarkan prinsip ekonomi, sosial dan lingkungan, seraya menyeimbangkan
beragam kepentingan para stakeholders.
Selain itu, ISO 26000 mengenai Guidance on Social Responsibility juga
memberikan definisi CSR. Meskipun pedoman CSR standard internasional ini baru
akan ditetapkan tahun 2010, draft pedoman ini bisa dijadikan rujukan. Menurut
ISO 26000, CSR adalah:
Tanggung jawab sebuah organisasi terhadap dampak-dampak dari
keputusan-keputusan dan kegiatan-kegiatannya pada masyarakat dan lingkungan
yang diwujudkan dalam bentuk perilaku transparan dan etis yang sejalan dengan
pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat; mempertimbangkan
harapan pemangku kepentingan, sejalan dengan hukum yang ditetapkan dan
norma-norma perilaku internasional; serta terintegrasi dengan organisasi secara
menyeluruh (draft 3, 2007).
Berdasarkan pedoman ini, CSR tidaklah sesederhana sebagaimana dipahami dan
dipraktikkan oleh kebanyakan perusahaan. CSR mencakup tujuh komponen utama,
yaitu: the environment, social development, human rights, organizational
governance, labor practices, fair operating practices, dan consumer issues (lihat
Sukada dan Jalal, 2008).
Jika dipetakan, menurut saya, pendefinisian CSR yang relatif lebih mudah
dipahami dan bisa dioperasionalkan untuk kegiatan audit adalah dengan
mengembangkan konsep Tripple Bottom Lines (Elkington, 1998) dan menambahkannya
dengan satu line tambahan, yakni procedure (lihat Suharto, 2007a).
Dengan demikian, CSR adalah: Kepedulian perusahaan yang menyisihkan sebagian
keuntungannya (profit) bagi kepentingan pembangunan manusia (people) dan
lingkungan (planet) secara berkelanjutan berdasarkan prosedur (procedure) yang
tepat dan profesional.
Dalam aplikasinya, konsep 4P ini bisa dipadukan dengan komponen dalam ISO
26000. Konsep planet jelas berkaitan dengan aspek the environment. Konsep
people di dalamnya bisa merujuk pada konsep social development dan human rights
yang tidak hanya menyangkut kesejahteraan ekonomi masyarakat (seperti pemberian
modal usaha, pelatihan keterampilan kerja). Melainkan pula, kesejahteraan
sosial (semisal pemberian jaminan sosial, penguatan aksesibilitas masyarakat
terhadap pelayanan kesehatan dan pendididikan, penguatan kapasitas
lembaga-lembaga sosial dan kearifan lokal). Sedangkan konsep procedur bisa
mencakup konsep organizational governance, labor practices, fair operating
practices, dan consumer issues.
Corporate Social Responsibility antara Tuntutan dan Kebutuhan
Dalam evolusi pemasaran terdapat lima konsep yang selalu mengalami perubahan
dari waktu ke waktu. Yang pertama adalah konsep produksi dimana konsumen akan
membeli suatu produk apabila harganya murah dan mudah didapat. Kedua, konsep
produk yaitu konsumen akan menyukai produk yang mempunyai mutu terbaik, kinerja
terbaik dan sifat paling inovatif. Ketiga, konsep penjualan dimana konsumen
akan membeli produk apabila ada usaha penjualan danpromosi dalam skala besar.
Keempat, konsep pemasaran dimana pencapaian tujuan organisasi tergantung
penentuan kebutuhan dan keinginan konsumen dan memuaskannya lebih efektif dan
efisien dari pada saingan. Kelima, pemasaran berwawasan social dimana
pencapaian tujuan organisasi tergantung penentuan kebutuhan dan keinginan
konsumen memenuhinya lebih efisien dari pada saingan melalui peningkatan
kesejahteraan konsumen dan masyarakat.
Pada saat sekarang ini konsep pemasaran sudah berada pada tahap kelima dimana
konsumen dalam membeli produk suatu perusahaan tidak hanya sekedar
memperhatikan suatu produk apakah bisa memenuhi kebutuhan mereka secara lebih
efisisen dari pada saingan tapi juga dengan kritis melihat apakah keberadaan
perusahaan telah berkontribusi positif terhadap peningkatan kesejahteraan
masyarakat dan juga apakah keberadaan perusahaan tidak menjadi bencana di
tengah masyarakat baik jangka pendek maupun jangka panjang. Dengan kritis
konsumen juga selektif melihat apakah suatu perusahaan tidak melakukan hal-hal
tidak terpuji seperti perusakan lingkungan, eksploitasi sumberdaya alam,
manipulasi pajak dan penindasan terhadap hak-hak buruh.Tekanan yang kuat dari
masyarakat terutama di tengah masyarakat yang kritis seperti Eropa mengharuskan
perusahaan menata kembali konsep bisnis mereka tidak sekedar berorientasi
profit belaka tetapi juga harus memiliki tanggung jawab social atau yang
sekarang lebih dikenal sebagai Corporate Social Responsibility. Konsep dan
praktek Corporate Social Responsibility sudah menunjukan suatu keharusan, para
pemilik modal tidak bisa lagi menganggap sebagai suatu pemborosan hal ini
berkaitan meningkatnya kesadaran social kemanusiaan dan lingkungan. Tuntutan
untuk melaksanakan program Corporate Social Responsibility makin tinggi
termasuk perusahaan di Indonesia terutama ketika hendak go international atau
sekedar menjalin kerjasama dengan perusahaan dari Negara maju. Biasanya yang
ditanyakan oleh calon mitra bisnis adalah apa saja program Corporate Social
Responsibility nya.
Jika kita perhatikan, masyarakat sekarang hidup dalam kondisi yang dipenuhi
beragam informasi dari berbagai bidang, serta dibekali kecanggihan ilmu dan
teknologi. Pola seperti ini mendorong terbentuknya cara berpikir, gaya hidup
dan tuntutan masyarakat yang lebih tajam. Seiring dengan perkembangan ini
tumbuh gerakan konsumen yang kita kenal sebagai vigilante consumerism yang
kemudian berkembang menjadi ethical consumerism.
Sehubungan dengan adanya tuntutan dan kebutuhan akan CSR (Program Corporate
Social Reponsibility) yang merupakan salah satu kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh perusahaan sesuai dengan isi pasal 74 Undang-undang Perseroan
Terbatas (UUPT) yang baru. Undang-undang ini disyahkan dalam sidang paripurna
DPR.
Dengan adanya Undang-undang ini, industri atau korporasi-korporasi wajib untuk
melaksanakannya, tetapi kewajiban ini bukan merupakan suatu beban yang
memberatkan. Perlu diingat pembangunan suatu negara bukan hanya tanggung jawab
pemerintah dan industri saja, tetapi setiap insan manusia berperan untuk mewujudkan
kesejahteraan sosial dan pengelolaan kualitas hidup masyarakat. Industri dan
korporasi berperan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang sehat dengan
mempertimbangkan pula faktor lingkungan hidup. Kini dunia usaha tidak lagi
hanya memperhatikan catatan keuangan perusahaan semata (single bottom line),
melainkan sudah meliputi keuangan, sosial, dan aspek lingkungan biasa disebut
(Triple bottom line) sinergi tiga elemen ini merupakan kunci dari konsep
pembangunan berkelanjutan.
Kita telah menyinggung sebelumnya bahwa konsep tanggung jawab sosial perusahaan
telah dikenal sejak awal 1970, yang secara umum diartikan sebagai kumpulan
kebijakan dan praktik yang berhubungan dengan stakeholder, nilai-nilai,
pemenuhan ketentuan hukum, penghargaan masyarakat, lingkungan, serta komitmen
dunia usaha untuk berkontribusi dalam pembangunan secara berkelanjutan
(Corporate Social Reponsibility) CSR tidak hanya merupakan kegiatan kreatif
perusahaan dan tidak terbatas hanya pada pemenuhan aturan hukum semata.
Masih banyak perusahaan tidak mau menjalankan program-program CSR karena
melihat hal tersebut hanya sebagai pengeluaran biaya (Cost Center). CSR tidak
memberikan hasil secara keuangan dalam jangka pendek. Namun CSR akan memberikan
hasil baik langsung maupun tidak langsung pada keuangan perusahaan di masa
mendatang. Investor juga ingin investasinya dan kepercayaan masyarakat terhadap
perusahaannya memiliki citra yang baik di mata masyarakat umum. Dengan
demikian, apabila perusahaan melakukan program-program CSR diharapkan
keberlanjutan, sehingga perusahaan akan berjalan dengan baik. Oleh karena itu,
program CSR lebih tepat apabila digolongkan sebagai investasi dan harus menjadi
strategi bisnis dari suatu perusahaan.
Dalam proses perjalanan CSR banyak masalah yang dihadapinya, di antaranya
adalah :
1. Program CSR belum tersosialisasikan dengan baik di masyarakat.
2. Masih terjadi perbedaan pandangan antara departemen hukum dan HAM dengan
departemen perindustrian mengenai CSR dikalangan perusahaan dan Industri.
3. Belum adanya aturan yang jelas dalam pelaksanaan CSR dikalangan perusahaan.
Bila dianalisis permasalahan di atas yang menyangkut belum tersosialisasikannya
dengan baik program CSR di kalangan masyarakat. Hal ini menyebabkan program CSR
belum bergulir sebagai mana mestinya, mengingat masyarakat umum belum mengerti
apa itu program CSR. Apa saja yang dapat dilakukannya? Bagaimana dapat
berkolaborasi dengan prosedur perusahaan.
Untuk menjawab pertanyaan masyarakat umum, perlu dijelaskan keberhasilan
program CSR baik di media cetak, atau media elektronika dan memberikan contoh
keberhasilan program CSR yang telah dijalankan. Di samping itu peranan
perguruan tinggi perlu ambil bagian dalam proses sosialisasi ini, mengingat
perguruan tinggi dapat sebagai agen perubahan dalam masyarakat. Kerjasama ini
dapat berupa penelitian, seminar, dan pemberdayaan masyarakat. KK-Ilmu
kemanusiaan melalui mata kuliah Kumunikasi Pembangunan sudah melakukan
penelitian tentang implementasi program CSR di kalangan pendidikan yang
hasilnya masih jauh dari apa yang diharapkan oleh kalangan pendidikan.
Contohnya hasil riset pada siswa SMA Bale Endah, mereka memerlukan bantuan
biaya sekolah untuk transportasi dan uang sekolah.tetapi yang diperoleh dari
program CSR perusahaan pemberi bantuan tersebut berupa seperangkat komputer dan
internet berikut pelatihan bagi guru. Jelas program CSR tidak mengenai sasaran.
Apa yang diperlukan oleh siswa dengan apa yang diberikan perusahaan melalui
program CSR sebelumnya tidak tepat sasaran.
Permasalahan ini tidak diperhatikan oleh pihak perusahaan pemberi bantuan
tetapi setelah mahasiswa yang mengambil matakuliah Komunikasi pembangunan
melakukan riset, ditemukan terjadi perbedaan antara apa yang diharapkan siswa
dengan apa yang diberikan perusahaan. Keadaan ini telah disampaikan kepada
pihak pemberi bantuan melalui seminar, dan pihak perusahaan menyadari hal ini.
Karena keterbatasan SDM dan waktu, pihak perusahaan berusaha agar lebih efektif
lagi untuk kedepannya. Mahasiswa tidak hanya melakukan riset dibidang pendidikan
saja, tetapi juga melakukan riset pada masyarakat sekitar kampus ITB, tepatnya
di daerah Cisitu. Hasil riset menghasilkan 40% anak yang putus sekolah, 50% Ibu
rumah tangga buta aksara, 75% pemuda yang tidak memiliki pekerjaan. Dari hasil
riset ini mahasiswa mencoba menindak lanjuti dengan cara menyusun program
pemberantasan buta aksara, pemberdayaan masyarakat, dan pendidikan informal.
Program ini memerlukan tempat perlatihan, SDM, dan dana. Untuk itu, mahasiswa
mengajak perusahaan telkom, BNI, dan PLN bekerjasama untuk melaksanakan program
tersebut melalui program CSR yang ada pada masing-masing perusahaan.
Program CSR ini, masih menyimpan banyak polemik di kalangan departemen Hukum
dan HAM yang berusaha mewajibkan CSR bagi perusahaan, sedangkan Departemen
perindustrian tidak mewajibkan perusahaan tidak memiliki program CSR. Hal ini
merupakan Full Anomali (terbalik-balik). Departemen Hukum dan HAM yang
seharusnya mendukung pengusaha karena azas kebebasan, malah mewajibkan CSR
sedangkan Departemen Perindustrian yang mestinya diwajibkan CSR justru
dibebaskan dari tuntutan kewajiban CSR. Dikalangan perusahaan dan Industri.
Dalam serba ketidak pastian ini Forum Ekonomi Dunia melalui Global Govermance
Initiative menggelar World Business Council For Sustainablle Development di New
York pada tahun 2005, salah satu deklarasi penting disepakati bahwa CSR jadi
wujud komitmen dunia usaha untuk membantu PBB dalam merealisasikan Millennium
Development Goalds (MDGs). Adapun tujuan utama MDGs adalah mengurangi separuh kemiskinan
dan kelaparan ditahun 2015. Pantas untuk dicatat tujuan ini jelas maha berat,
mengingat pertumbuhan dunia bisnis terus meningkat, tetapi kemiskinan toh malah
bertambah.
Human Depelopment Report tahun 2005 (HDR) melaporkan, 40% penduduk dunia atau
2,5 milyar jiwa hidup dengan upah dibawah US$ 2/hari/kapita. Total upah ini
nilainya setara dengan 5% pendapatan dunia , setiap hari 1200 anak-anak mati
karena kelaparan. HDR mensinyalir 10% orang terkaya di dunia menguasai 54%
total pendapatan dunia yang yang 500 orang dari 10% terkaya itu, hartanya lebih
besar ketimbang kekayaan 416 juta penduduk termiskin.
Untuk mengatasi kemiskinan ini pihak perusahaan perlu menyisihkan uang dari
keuntungan yang diperoleh, tetapi bukan dimasukkan kedalam biaya investasi yang
harus ditanggung pemerintah.
Bila dilihat masih belum jelasnya aturan dalam pelaksanaan CSR perusahaan
menimbulkan penafsiran sendiri, hal ini dapat dilihat dari masing-masing
perusahaan yang memiliki program CSR. Perlu diketahui program CSR yang terpenting
adalah aturan yang mewajibkan programnya harus berkelanjutan (sustainable).
Melakukan program CSR yang berkelanjutan akan memberikan dampak positif dan
manfaat yang lebih besar baik kepada perusahaan itu sendiri berupa citra
perusahaan dan para stake holder yang terkait. Sebagai contoh nyata dari
program CSR yang dapat dilakukan oleh perusahaan dengan semangat keberlanjutan
antara lain pengembangan Bio Energi, Perkebunan Rakyat, dan pembangkit Listri
tenaga air swadaya masysrakat.
Program CSR yang berkelanjutan diharapkan dapat membantu menciptakan kehidupan
dimsyarakat yang lebih sejahtera dan mandiri. Setiap kegiatan tersebut akan
melibatkan semangat sinergi dari semua pihak secara terus menerus membangun dan
menciftakan kesejahteraan dan pada akhirnya akan tercifta kemandirian dari
masyarakat yang terlibat dalam program tersebut, sesuai dengan kemampuannya.
Hal ini sejalan dengan pendapat Kingsley Davis dan Wilbert Moore, menurut
mereka bahwa didalalm masyarakat terdapat Stratifikasi social dimana
stratifikasi social itu dibutuhkan masyarakat demi kelangsungan hidup yang
membutuhkan berbagai jenis pekerjaan. Tanpa adanya stratifikasi social,
masyarakat tidak akan terangsang untuk menekuni pekerjaan-pekerjaan sulit atau
pekerjaan yang membutuhkan proses berlajar yang lama dan mahal. Agar masyarakat
dapat memiliki modal stimulus untuk merubah stratifikasi, perlu ada
pemberdayaan agar masyarakat sadar dan bangkit dari keterpurukan.
Kondisi ini dapat diatasi dengan program yang bersifat holistik sehingga dapat
membangun tingkat kepercayaan dalam diri masyarakat, untuk itu didukung oleh
program CSR yang berkelanjutan (sustainable).
Kesimpulan
Istilah CSR (Corporate Social Responsibility) mulai digunakan sejak tahun 1970a
dan di Indonesia istilah CSR baru digunakan sejak tahun 1990-an. Sebagian besar
perusahaan di Indonesia menjalankan CSR melalui kerjasama dengan mitra lain,
seperti LSM, perguruan tinggi atau lembaga konsultan.
Dimana pengertian dari CSR (Corporate Social Responsibility) dapat didefenisikan
sebagai Kepedulian perusahaan yang menyisihkan sebagian keuntungannya (profit)
bagi kepentingan pembangunan manusia (people) dan lingkungan (planet) secara
berkelanjutan berdasarkan prosedur (procedure) yang tepat dan profesional.
Undang-undang tentang CSR di Indonesia diatur dalam UU PT No.40 Tahun 2007 yang
menyebutkan bahwa PT yang menjalankan usaha di bidang dan/atau bersangkutan
dengan sumber daya alam wajib menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan
(Pasal 74 ayat 1). UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pasal 15 (b)
menyatakan bahwa ”Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab
sosial perusahaan.” Selajutnya lebih terperinci adalah UU No.19 Tahun 2003
tentang BUMN. UU ini kemudiaan dijabarkan lebih jauh oleh Peraturan Menteri
Negara BUMN No.4 Tahun 2007 yang mengatur mulai dari besaran dana hingga
tatacara pelaksanaan CSR.
Kepedulian perusahaan yang menyisihkan sebagian keuntungannya (profit) bagi
kepentingan pembangunan manusia (people) dan lingkungan (planet) secara
berkelanjutan berdasarkan prosedur (procedure) yang tepat dan professional
merupakan wujud nyata dari pelaksanaan CSR di Indonesia dalam upaya penciptaan
kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia.
Minggu, 12 Agustus 2012
CSR Indonesia
19.35
Unknown
No comments
0 komentar:
Posting Komentar